Marketing Barter dengan Eksposure

Menyambung dari konten saya sebelumnya tentang Eksposure Bisnis Jaman Now, kali ini sengaja saya membuat konten menyesuaikan kondisi sekarang, lebih tepatnya agar Saya dan Anda dapat mencerna secara gamblang fenomena eksposure, tepatnya di penghujung tahun 2020 ini. Fenomena ini sesungguhnya sudah ada sejak dari pendahulunya para influencer bisnis, brand ambassador, bahkan bintang iklan TV era terdahulu.

Eksposure adalah obyek yang rentan terhadap resiko dalam ilmu ekonomi marketing. Jadi tak heran bahwa istilah keilmuan dari literasi akademis ini sudah menjadi cara orang berbisnis, namun baru saja menjadi trend yang baru pada masa sekarang.

Banyak media yang sudah membahas hal ini dan mungkin ini hanya sekedar resume dari opini yang dicapai sebagai orang awam dalam hal bisnis terutama marketing. Lalu seperti apakah trend marketing yang terjadi saat ini? dampak eksposure bagi brand marketer? apa rumus eksposure dalam market? dan bagaimana sistem kerjanya?

Eksposure Gaya Baru (Hybrid)

Akhir ini netizen gembar-gembor mengenai masalah yang terjadi dengan istilah barter market dengan eksposure. Dan sentimen buruk ini mengarah kepada beberapa influencer di Indonesia khususnya. Mungkin hal tersebut terkesan buruk bagi pebisnis juga memancing kekacauan jagat maya mengenai cara yang dicapai untuk mencari keuntungan dalam hal marketing. Namun tentunya ada pelajaran yang bisa kita ambil tanpa harus menjugde lebih itens.

Entah kelanjutannya seperti apa, saya lebih tertarik membahas fenomena dibalik itu dibanding secara khusus sisi subyeknya. Dalam dunia marketing ini adalah hal yang wajar dan lumrah bahkan bukan lagi rahasia umum. Kegiatan memasarkan barang produksi maupun jasa dari suatu brand dengan cara mengenalkan spesifikasi, fungsi, manfaat melalui media sosial adalah tugas marketing era jaman sekarang.

Persilangan (hybrida) antara eksistensi diri di jagat maya sembari menyuntikkan iklan dari endorsement kepada pemirsa adalah gaya kita, karena telah memulai meninggalkan cara era konvensional yang primitif seperti selebaran (flyer), billboard, iklan radio, bahkan mungkin perilaku sosial konsumen era terdahulu.

Untuk membeli sebuah produk semisal elektronik tak lagi harus mengunjungi toko, bahkan prosedur (akad) jual beli seperti melihat, mencoba, memilih, dan bertransaksi secara face to face (ijab-qobul) mulai ditinggalkan. Produsen dari brand (merk) menyadari bahwa berdiam diri pada suatu market (platform) tidak akan menghasilkan uang atau mendatangkan minat konsumen dan perlu adanya pendobrak.

Inilah mengapa trend dalam jual beli dan promosi sudah memiliki gaya tersendiri sejak teknologi mengambil alih seluruh kegiatan sosial. Dari cara Anda memilih produk brand unggulan, melihat spesifikasi dari iklan, dari brand mana produk tersebut berasal, cara transaksi, dan bagaimana penilaian (rating) kualitas produk ditentukan melalui banyaknya bintang (like) pelanggan yang mem-follow up atau buyer serta celotehan komentar netizen di medsos tentang siapa aktor iklannya, hanya dalam genggaman tangan. Yakni era teknologi internet mampu menyederhanakan prosedur marketing tersebut saat ini.

Influencer adalah sosok yang memiliki eksposur dalam dirinya. Karena banyaknya cakupan massa dari orang yang memfollow-up akun mereka dan ini adalah sasaran empuk bagi brand untuk memasarkan produk melalui influencer atau sebaliknya. Kerjasama antara brand dengan influencer caranya masih tetap sama namun platformnya berbeda.

Orang beranggapan sentimen mengenai cara influencer menawarkan produk secara tak langsung dengan plot tersembunyi dari video vlogging bahkan podcast. Alur drama yang menyulut antusiasme masyarakat untuk mengenal brand produk secara tak sadar. Ini memicu kegaduhan dan pro kontra, pasalnya mengejar impressi penonton dengan cara ini memang sangat manjur.

First Impression

Kita mengenal istilah first impression (kesan pertama) berawal sebagai kesan yang berbeda dari sebelumnya. Seorang yakin betul buah durian yang matang dan enak hanya dari penciuman mereka sendiri atau langsung mencoba di tempat, ini disebut sebagai impressi. Saat ini teori tersebut bias (samar) jika ketika Anda mampu membelinya dalam bentuk package (kemasan) yang rapih dan menggiurkan di supermarket, maka sudah pasti matang dan enak bukan? bahkan ekspetasi berlebihan bisa muncul jika supermarket tersebut sering dikunjungi oleh seorang selebritis, sensasinya akan mudah dibandingkan ketika Anda bersusah payah memilih buah durian di emperan.

Inilah mengapa eksposure dikaitkan selalu dengan dampak dari impressi (kesan) konsumen terhadap obyek yang jadi spotlight (sorotan publik) tak perduli berapa pun nilai sebenarnya, jujur atau menipu?.

Impressi seungguhnya memiliki nilai (value), bahkan tak banyak orang menyadari bahwa teori dan teknik marketing itu berkembang. Segala sesuatu yang berbau ekonomis bisa dinominalkan dalam bentuk angka. Seperti halnya nilai tukar mata uang, seperti nilai eksposure sekarang malah tampak seperti jurnal umum dalam ilmu akutansi? ya, memang demikian.

Dalam videonya Kemal Shahab menjelaskan "Setelah mendapatkan hasil dari iklan tersebut, minta laporan dari influencer agar bisa jadi materi pembelajaran. Misalnya influencer bekerjasama dengan brand"

Apakah Eksposure termasuk Asset Brand?

Karena Eksposure adalah asset dalam bentuk tak berwujud benda fisik (intangible) maka sebagai indikator yang nampaknya adalah impressi dalam bentuk angka ini menjadi identitas yang melekat, semisal seorang dengan daya tarik sosial yang kuat dapat mempengaruhi cara pandang (ideologi), berpakaian, bertindak, dan berekspresi.

Orang tersebut memiliki nama yang telah menjadi brand (merk), layaknya filosofi Eropa tentang nama brand yang diambil dari nama pemilik hak paten (Mc Donald's, Tesla, etc ), sebagian menggunakan nama benda serta kata metafora (Apple, Mercy, Volks Wagen, etc) atau seperti Asia Timur yang membuat nama berdasar daerah industri tersebut berasal (Fujitsu, Yokohama, etc). Dengan demikian asset tersebut menjadi beban dan tanggung jawab antara influencer dan brand, menanggung segala resiko dalam mengemban sebuah nama (brand) sekaligus dampak yang terjadi padanya.

Paid Promote jadi Fitur Bisnis

Seiring perkembangan teknologi, eksposure yang awalnya adalah instrument (alat) promosi namun kini berubah menjadi alat tukar yang dengan beragam ketentuan formal perusahaan. Meski terdengar rancu dengan cara bertransaksi jaman sekarang, namun akhirnya kembali ke masa dimana barter adalah aturan modern yang diterapkan pengusaha untuk mengubah pola bisnis mereka. Pada sosial media, paid promote adalah contoh gamblang orang bertukar nilai impressi dengan eksposur yang mengandalkan kajian analistik pada jumlah follower, pemirsa, tayangan, hingga, like, dan cakupan wilayah.

Apakah ini sah? tentu sah saja selama ada standar benefit yang jelas perhitungannya. Oleh karena itu formulasi ekonomi digunakan untuk menilai dan menghargai sesuatu penjualan terutama barang dan jasa. Aturan ini beragam berdasakan kecocokan costumer atau klien yang menginginkan keuntungan yang setimpal dengan usaha mereka. Namun juga standar benefit ini dimudahkan karena layanan media sosial telah memfasilitasi fitur tersebut pada perangkat.

Engagement sebagai peluang Eksposure

Engagement dalam bisnis ini maksudnya adalah dua hal, pertama adalah persona dari promotor dan kedua adalah pemirsa. Keduanya saling berkaitan (engaging) dan disebut memiliki respon karena subjek pemirsa merasa tertarik (like) untuk mengikuti (follow), melakukan timbal balik komunikasi (komentar) terhadap yang difollow-up atau bahkan melihat objeknya (view konten). Dalam dunia media sosial, konten bisa juga disebut sebagai engagement secara utuh karena di dalamnya termasuk jumlah view, follower, like, komentar, dan sebagainya.

Engagement tersebut kini telah menjadi fitur bisnis dalam berbagai platform media sosial yang secara algoritma (komputis) dapat dinilai sebagai angka eksposure serta memiliki nilai ekonomis. Fitur ini harus mampu memberi benefit bagi sang pembuat platform dan penggunanya, oleh karena itulah tujuan diciptakan. Jadi jangan naif jika ini adalah soal bisnis dan kita harus memanfaatkan peluang tersebut secara baik dan bijak.

PENUTUP

Tak ada salahnya mengenal lebih dalam tentang perubahan cara marketing di era sekarang. Fenomena eksposure mudah-mudahan menjadi revolusi bisnis di situasi teknologi yang semakin maju dan berkembang ini. Perlu adanya edukasi yang berkelanjutan antara pelaku bisnis dengan konsumen agar mampu memahami iklim dan transformasi sistem bisnis kita, agar tak terjadi kesalah pahaman tulisan ini akan terus saya perbaiki secara bertahap. Dan akan membahas secara khusus membedah dalam bentuk resume yang terjadi sekarang hingga yang akan datang. Selamat Berkarya

ARTIKEL TERKAIT

Beragam informasi seputar teknologi dan gadget dikemas dari berbagai sumber dan pengalaman dalam bentuk tutorial

Comment Policy: Silahkan isi komentar Anda sesuai dengan bahasan topik pada postingan. Komentar yang berisi link atau tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar Disqus

This website uses cookies to ensure you get the best experience on our website. Info